PERGULATAN IMAN DI TENGAH BADAI KEMUNGKARAN
Alkisah, pada suatu hari di bulan Ramadan, ada seorang
santri yang baru turun gunung (boyong. Jawa) dari pondok pesantren. Ia hendak
ke Jakarta untuk mengunjungi kakaknya yang tinggal disana dan ingin merasakan berpuasa
di kota yang tersibuk di Indonesia. Saat perjalan didalam bus kota yang
ditumpanginya, dia menyaksikan langsung di depannya sesuatu yang aneh buat
ukuran dirinya. Misalnya, prilaku bermesraan dengan cara berpelukan tanpa
merasa risi dengan orang-orang yang ada disekeliling. Wanitanya mengenakan
pakian serba mini dengan belahan (maaf) paha dan membiarkan dada terbuka
secara tanggung.
Dia terguncang, seraya mengucapkan astagfirullah berkali-kali,
ditatapnya langit Jakarta dengan rasa tak percaya. Dicobanya menengok kanan dan
kiri untuk menangkap kesan orang-orang disekitar, apakah mereka memiliki
perasaan yang sama dengannya? Ternyata ia menangkap wajah-wajah orang Jakarta
itu biasa-biasa saja. Artinya, tidak ada yang luar biasa dari kejadian yang tampak “langka” di depan
matanya itu.
Perjalan yang lumayan melelahkan telah ia tempuh, dan
akhirnya sampai pada rumah kakanya. Kakaknya kaget karena dia tidak mengabari
kalau mau datang terlebih dahulu. Dirasa capek, kakanya pun mempersilahkan
untuk istirahat. Dalam kamar yang gelap ia tidak bisa istirahat dengan tenang
karena teringat kejadian yang dilihatnya di dalam bus. Matanya pun sulit
dipejamkan. Alhasil, dia mempunyai keinginan pulang kampung esok hari, karena
merasa tidak kuat dengan godaan puasa di kota.
Apa yang terjadi kemudian? Esok pagi-pagi ia pamit
pulang tergopoh-gopoh. “Bang, lebih baik aku pulan dan berpuasa di kampung saja
bersama ibu saja.”
“memangnya kenapa?” tanya sang abang. “aku tidak sanggup
menjalankan puasa di Kota ini bang! Bisa-bisa puasaku hancur semua,” jawanya
pelan. “Soalnya di Jakarta banyak maksiat dilakukan secara terbuka. Orang tak lagi
menghormati bulan Ramadan. Kalau di kampung aku bisa memelihara puasaku tanpa
banyak gangguan.” Katanya lagi.
Sang abang pun hanya bisa tertawa mendengar kesan
pertama adiknya di Kota Jakarta. Sang abang tidak menyalahkan atau mengiyakan.
Tak menyalahkan, karena kesan seperti itu normal-normal saja bagi masyarakat yang baru menghayati ajaran agama
secara simbol-simbol lahiriah. Agama
baru ditangkapnya dengan kasat mata dan gerak-gerik ragawi.
Tak mengiyakan,
sebab agama adalah ungkapan batin dan olah nurani yang amat pribadi. Karena,
pandangan seseorang bisa benar disaat ini, tapi bisa salah disaat yang lain.
Kadang, penghayatan tentang nuansa dan nilai-nilai
keagamaan hanya mungkin bisa dirasakan, dan tak sanggup dikatakan
dengankata-kata. Tiba-tiba kita kehabisan bahasa lisan untuk merumuskan
pergulatan batin kita sendiri. Bahkan tak jarang pergulatan batin itu hanya
dapat diketahui oleh yanng bersangkutan dengan Tuhannya saja.
Karena itu, sang abang tidak menyegahnya untuk tetap
pulang dan berpuasa di kampung. Bagi sang abang, kelihatan sekali bahwa adiknya
mengalami keterkejutan budaya. “Biarlah ia belajar menerima sesuatunya suatu saat.”
Kata sang abang dalam hati.
Ia memilih berpuasa dikampung karena, tidak banyak
godaan sehingga puasa yang dijalankannya
dapat terpelihara dengan baik. Sedangkan, berpuasa di kota yang hilir mudik
dengan kemaksiatan secara terbuka, yang akhirnya menurutnya dapat merusak dan
mengotori kehidmaan dalam menjalankan puasa. Lantas sang adik memilih untuk
meninggalkan kota tersebut.
Dalam al-Quran surat al-Syams ayat 9-10, Allah SWT
telah berfirman yang artinya: “Beruntunglah orang-orang yang gemar mensucikan
diri, dan merugilah orang-orang yang rajin mengotorinya.”
Jika ditarik lebih dalam isi kandungan
ayat diatas, maka dapat diartikan bahwa dalam rangka menyucikan diri dan
pertobatan batin, Allah tidak mengajak hamba-Nya untuk lari dari tantangan
iman, melainkan menyongsongnya dengan penuh percaya diri. Disanalah akan terlihat siapa yang
benar-benar suci dan siapa yang akan lebur menjadi debu, seperti
sebuah lagu:
Di situ kita lihat
Sinarnya yang hakikat
Debu jadi permata
Hina jadi mulia…..
Dengan judul“suci
dalam debu” yang dipopulerkan oleh group band asal Malaysia, Iklim.
Disaat melihat dan menyaksikan orang lain berbuat dosa
di depan kita, maka itulah sebuah tantangan yang harus dihadapi. Apakah cukup
mampu bagi yang menyaksikannya kemudian sanggup menahan diri untuk tidak
tergoda dan terpeleset pada perbuatan dosa tersebut ataukah sebaliknya? Apalagi
disaat kita, contohnya, khusuk dalam menjalankan puasa, tentu godaan tersebut
kian terasa berat. Bagi mereka yang kukuh imannya maka tantangan ini akan
terasa mengasikkan untuk dijalani.
Maka dari sinilah kita bisa berpendapat, bahwa puasa
yang dijalankan di tempat yang banyak kemaksiatan, justru akan menaikan
kualitas puasa itu sendiri. Dan sebaliknya jika puasa dikerjakan di tempat yang
insentitas kemaksiatannya rendah, maka redah pula kualitas puasa itu. Allah SWT
telah menjelaskan dalam kitab suci al-Quran:
“Apakah kamu mengira bahwa kamu akan dibiarkan
mengaku iman sebelum Allah menguji kamu agar Dia benar-benar tahu bahwa kamu
benar-benar beriman ataukan hanya pendusta belaka.” (Q.S: al-Ankabut 2-3)
Berarti, iman itu berada dalam cobaan, godaan, dan
tantangan. Bukan sebaliknya, hidup tanpa ada ritangan yang berarti. Dalam suatu
sajak, Imam Ghozali berkata:
Biarpun godaan mengepung mata
Hingga mata pun menjadi buta
Akan percuma semata-mata
Itulah karena Tuhan semata
Kalau dirunut secara natsar,
sajak tersebut dapat dijabarkan bahwa seseorang yang kuat pribadinya adalah dia
yang membangun dirinya laksana karang di tengah badai. Tak
tergoyahkan walaupun kemaksiatan mengepungnya. Begitu juga iman. Iman yang
kokoh berasal atau muncul dari pergulatan jiwa yang melelahkan dan meletihkan.
Ia bukan sesuatu yang jatuh tiba-tiba dari langit, tapi suatu usaha atau
ikhtiar yang menguras tenaga dan memeras keringat melawan kerikil-kerikil tajam
yang menghadang, siapa yang melintasinya akan merasakan ketajamannya, tidak
mengenal santri atau abangan.
Dalam tataran ranah ini, selayaknya kita
memuji peranan ulama’ dan umara. Dengan kearifan mereka masing-masing memanggil
kita semua, terutama generasi muda, agar tidak mudah tergoda oleh budaya luar
yang dihanyutkan oleh arus globalisasi. Maka dari itu, ulama’ dan umara
menghimbau kita agar selalu memperkuat pertahanan budaya dan agama untuk
menyaring dan memilih secara kritis apa saja yang masuk ke dalam negara kita
ini pada era globalisasi.
Pada masa ini, kehancuran moral pribadi
seseorang dikarenakan lemahnya iman. Ini dipicu kurang tangguhnya benteng iman
dari gempuran kemaksiatan yang tidak mengenal tempat dan waktu. Kapan saja dan
dimana ia mengintai dan siap menumbangkan iman seseorang.
Kemajuan negara ini bertumpu pada
pemuda. Kalau pemudanya sudah lemah moralnya, maka tinggal menunggu kehancuran
seluruh negara. Sudah saatnya, terutama
kaum muda mempersiapkan diri guna memperkokoh iman dengan menjalankan ajaran
agama dengan ikhlas dan sungguh-sungguh agar tidak terjerumus ke lembah dunia hitam. Dengan begitu, dapat selamat di
dunia dan bahagia di akhirat kelak.
0 komentar:
Posting Komentar