Pages

Subscribe:

Sabtu, 28 April 2012

PERGULATAN IMAN DI TENGAH BADAI KEMUNGKARAN


PERGULATAN IMAN DI TENGAH BADAI KEMUNGKARAN
Alkisah, pada suatu hari di bulan Ramadan, ada seorang santri yang baru turun gunung (boyong. Jawa) dari pondok pesantren. Ia hendak ke Jakarta untuk mengunjungi kakaknya yang tinggal disana dan ingin merasakan berpuasa di kota yang tersibuk di Indonesia. Saat perjalan didalam bus kota yang ditumpanginya, dia menyaksikan langsung di depannya sesuatu yang aneh buat ukuran dirinya. Misalnya, prilaku bermesraan dengan cara berpelukan tanpa merasa risi dengan orang-orang yang ada disekeliling. Wanitanya mengenakan pakian serba mini dengan belahan (maaf) paha dan membiarkan dada terbuka secara tanggung.
Dia terguncang, seraya mengucapkan astagfirullah berkali-kali, ditatapnya langit Jakarta dengan rasa tak percaya. Dicobanya menengok kanan dan kiri untuk menangkap kesan orang-orang disekitar, apakah mereka memiliki perasaan yang sama dengannya? Ternyata ia menangkap wajah-wajah orang Jakarta itu biasa-biasa saja. Artinya, tidak ada yang luar biasa dari  kejadian yang tampak “langka” di depan matanya itu.
Perjalan yang lumayan melelahkan telah ia tempuh, dan akhirnya sampai pada rumah kakanya. Kakaknya kaget karena dia tidak mengabari kalau mau datang terlebih dahulu. Dirasa capek, kakanya pun mempersilahkan untuk istirahat. Dalam kamar yang gelap ia tidak bisa istirahat dengan tenang karena teringat kejadian yang dilihatnya di dalam bus. Matanya pun sulit dipejamkan. Alhasil, dia mempunyai keinginan pulang kampung esok hari, karena merasa tidak kuat dengan godaan puasa di kota.
Apa yang terjadi kemudian? Esok pagi-pagi ia pamit pulang tergopoh-gopoh. “Bang, lebih baik aku pulan dan berpuasa di kampung saja bersama ibu saja.”
“memangnya kenapa?” tanya sang abang. “aku tidak sanggup menjalankan puasa di Kota ini bang! Bisa-bisa puasaku hancur semua,” jawanya pelan. “Soalnya di Jakarta banyak maksiat dilakukan secara terbuka. Orang tak lagi menghormati bulan Ramadan. Kalau di kampung aku bisa memelihara puasaku tanpa banyak gangguan.” Katanya lagi.
Sang abang pun hanya bisa tertawa mendengar kesan pertama adiknya di Kota Jakarta. Sang abang tidak menyalahkan atau mengiyakan. Tak menyalahkan, karena kesan seperti itu normal-normal saja bagi  masyarakat yang baru menghayati ajaran agama secara simbol-simbol lahiriah.  Agama baru ditangkapnya dengan kasat mata dan gerak-gerik ragawi.
  Tak mengiyakan, sebab agama adalah ungkapan batin dan olah nurani yang amat pribadi. Karena, pandangan seseorang bisa benar disaat ini, tapi bisa salah disaat yang lain.
Kadang, penghayatan tentang nuansa dan nilai-nilai keagamaan hanya mungkin bisa dirasakan, dan tak sanggup dikatakan dengankata-kata. Tiba-tiba kita kehabisan bahasa lisan untuk merumuskan pergulatan batin kita sendiri. Bahkan tak jarang pergulatan batin itu hanya dapat diketahui oleh yanng bersangkutan dengan Tuhannya saja.
Karena itu, sang abang tidak menyegahnya untuk tetap pulang dan berpuasa di kampung. Bagi sang abang, kelihatan sekali bahwa adiknya mengalami keterkejutan budaya. “Biarlah ia belajar menerima sesuatunya suatu saat.” Kata sang abang dalam hati.
Ia memilih berpuasa dikampung karena, tidak banyak godaan  sehingga puasa yang dijalankannya dapat terpelihara dengan baik. Sedangkan, berpuasa di kota yang hilir mudik dengan kemaksiatan secara terbuka, yang akhirnya menurutnya dapat merusak dan mengotori kehidmaan dalam menjalankan puasa. Lantas sang adik memilih untuk meninggalkan kota tersebut.
Dalam al-Quran surat al-Syams ayat 9-10, Allah SWT telah berfirman yang artinya: “Beruntunglah orang-orang yang gemar mensucikan diri, dan merugilah orang-orang yang rajin mengotorinya.”
Jika ditarik lebih dalam isi kandungan ayat diatas, maka dapat diartikan bahwa dalam rangka menyucikan diri dan pertobatan batin, Allah tidak mengajak hamba-Nya untuk lari dari tantangan iman, melainkan menyongsongnya dengan penuh percaya diri.  Disanalah akan terlihat siapa yang benar-benar suci dan siapa yang akan lebur menjadi debu, seperti sebuah lagu:
Di situ kita lihat
Sinarnya yang hakikat
Debu jadi permata
Hina jadi mulia…..
 Dengan judul“suci dalam debu” yang dipopulerkan oleh group band asal Malaysia, Iklim.
Disaat melihat dan menyaksikan orang lain berbuat dosa di depan kita, maka itulah sebuah tantangan yang harus dihadapi. Apakah cukup mampu bagi yang menyaksikannya kemudian sanggup menahan diri untuk tidak tergoda dan terpeleset pada perbuatan dosa tersebut ataukah sebaliknya? Apalagi disaat kita, contohnya, khusuk dalam menjalankan puasa, tentu godaan tersebut kian terasa berat. Bagi mereka yang kukuh imannya maka tantangan ini akan terasa mengasikkan untuk dijalani.
Maka dari sinilah kita bisa berpendapat, bahwa puasa yang dijalankan di tempat yang banyak kemaksiatan, justru akan menaikan kualitas puasa itu sendiri. Dan sebaliknya jika puasa dikerjakan di tempat yang insentitas kemaksiatannya rendah, maka redah pula kualitas puasa itu. Allah SWT telah menjelaskan dalam kitab suci al-Quran:
Apakah kamu mengira bahwa kamu akan dibiarkan mengaku iman sebelum Allah menguji kamu agar Dia benar-benar tahu bahwa kamu benar-benar beriman ataukan hanya pendusta belaka.” (Q.S: al-Ankabut 2-3)
Berarti, iman itu berada dalam cobaan, godaan, dan tantangan. Bukan sebaliknya, hidup tanpa ada ritangan yang berarti. Dalam suatu sajak, Imam Ghozali berkata:
Biarpun godaan mengepung mata
Hingga mata pun menjadi buta
Akan percuma semata-mata
Itulah karena Tuhan semata

Kalau dirunut secara natsar, sajak tersebut dapat dijabarkan bahwa seseorang yang kuat pribadinya adalah dia yang membangun dirinya laksana karang di tengah badai. Tak tergoyahkan walaupun kemaksiatan mengepungnya. Begitu juga iman. Iman yang kokoh berasal atau muncul dari pergulatan jiwa yang melelahkan dan meletihkan. Ia bukan sesuatu yang jatuh tiba-tiba dari langit, tapi suatu usaha atau ikhtiar yang menguras tenaga dan memeras keringat melawan kerikil-kerikil tajam yang menghadang, siapa yang melintasinya akan merasakan ketajamannya, tidak mengenal santri atau abangan.
Dalam tataran ranah ini, selayaknya kita memuji peranan ulama’ dan umara. Dengan kearifan mereka masing-masing memanggil kita semua, terutama generasi muda, agar tidak mudah tergoda oleh budaya luar yang dihanyutkan oleh arus globalisasi. Maka dari itu, ulama’ dan umara menghimbau kita agar selalu memperkuat pertahanan budaya dan agama untuk menyaring dan memilih secara kritis apa saja yang masuk ke dalam negara kita ini pada era globalisasi. 
Pada masa ini, kehancuran moral pribadi seseorang dikarenakan lemahnya iman. Ini dipicu kurang tangguhnya benteng iman dari gempuran kemaksiatan yang tidak mengenal tempat dan waktu. Kapan saja dan dimana ia mengintai dan siap menumbangkan iman seseorang.
Kemajuan negara ini bertumpu pada pemuda. Kalau pemudanya sudah lemah moralnya, maka tinggal menunggu kehancuran seluruh negara.  Sudah saatnya, terutama kaum muda mempersiapkan diri guna memperkokoh iman dengan menjalankan ajaran agama dengan ikhlas dan sungguh-sungguh agar tidak terjerumus ke lembah  dunia hitam. Dengan begitu, dapat selamat di dunia dan bahagia di akhirat kelak.
 

0 komentar:

Posting Komentar